Pengesahan Perkawinan
- Senin, 16 Juni 2025
- 57 views
- 2 likes

Pencatatan administrasi kependudukan terhadap perkawinan yang belum tercatat merupakan kebijakan afirmatif yang diimplementasikan untuk mengakomodasi berbagai permasalahan mendasar, mengingat masih banyaknya praktik perkawinan yang belum tercatat secara resmi oleh negara.
Salah satu latar belakang utama kebijakan ini adalah kemunculan berbagai isu manakala pasangan yang dahulu sempat menikah namun tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan, meskipun status perkawinan mereka telah tercantum sebagai "kawin" dalam Kartu Keluarga. Situasi ini berdampak pada Akta Kelahiran anak, yang kemudian hanya mencantumkan nama ibu (sebagai "Anak Seorang Ibu"). Sebaliknya, jika status perkawinan dalam Kartu Keluarga ditulis "belum kawin", maka status hubungan dalam keluarga antara pasangan dan anak-anaknya akan tercatat sebagai "orang lain".
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pencatatan status perkawinan secara negara merupakan peristiwa penting yang harus dilaksanakan, karena memiliki konsekuensi hukum yang signifikan bagi suami, istri, dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut sesuai dengan syarat sahnya perkawinan yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 adalah perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun syarat sahnya perkawinan antara lain:
Syarat Materiil (Substansial):
- Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini adalah fondasi utama. Perkawinan harus sah secara agama yang dianut oleh kedua calon mempelai. Tanpa ini, perkawinan tidak sah secara hukum negara.
- Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan). Perkawinan harus didasari oleh kehendak bebas dan tanpa paksaan dari kedua belah pihak.
- Batas Usia Perkawinan (Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019):
- Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
- Ini adalah perubahan terpenting. Sebelum UU No. 16 Tahun 2019, batas usia wanita adalah 16 tahun dan pria 19 tahun. UU No. 16 Tahun 2019 menyamakan batas usia minimum untuk kedua belah pihak menjadi 19 tahun, dengan tujuan utama untuk mencegah perkawinan anak dan melindungi hak-hak anak.
- Dispensasi Kawin (Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019): Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Pemberian dispensasi ini wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai.
- Izin Orang Tua/Wali (Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan): Bagi seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Jika salah satu meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup dari orang tua yang masih hidup. Jika keduanya meninggal dunia atau tidak mampu, izin didapat dari wali atau orang yang memelihara/merawatnya.
- Tidak ada halangan perkawinan (Pasal 8 UU Perkawinan): Larangan perkawinan masih tetap berlaku, yaitu tidak boleh menikah dengan orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas (misalnya, orang tua dengan anak).
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
- Berhubungan semenda (mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri).
- Berhubungan susuan (orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, bibi/paman susuan).
- Masih terikat perkawinan dengan orang lain (prinsip monogami, kecuali dengan syarat ketat untuk poligami).
- Hubungan lain yang dilarang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku.
Syarat Formil (Administratif):
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan). Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (KUA untuk Muslim, Kantor Catatan Sipil untuk non-Muslim) adalah keharusan agar perkawinan memiliki kekuatan hukum dan diakui oleh negara. Akta perkawinan yang diterbitkan merupakan bukti sah perkawinan.
- Pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah.
- Penyerahan dokumen-dokumen yang diperlukan.
- Dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan dihadiri dua orang saksi.
- Penandatanganan akta perkawinan
Pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif yang harus dipenuhi. Perkawinan yang tidak dicatatkan tetap sah secara agama, namun tidak memiliki kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri, oleh karena itu diperlukannya Pengesahan Perkawinan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Aga??/??h?amah Syariyah Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, Dan Akta Kelahiran menjelaskan bahwa, Pengesahan Perkawinan adalah pengesahan kawin bagi masyarakat beragama selain Islam yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun syarat-syarat untuk mengajukan permohonan Pengesahan Perkawinan di Pengadilan Negeri Tabanan, yakni:
- KTP
- No. Rekening (yang dibuktikan dengan fotocopy Buku Rekening)
- Surat permohonan
- Bukti surat (Bukti telah dilaksanakannya perkawinan)
Pengajuan Permohonan Pengesahan Perkawinan
Sebagaimana ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menentukan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan tersebut, Pihak yang berhak mengajukan permohonan Pengesahan Perkawinan adalah Pasangan Suami Istri yang belum mencatatkan perkawinannya tersebut. Selanjutnya setelah para pihak mendapatkan Penetapan, maka Para Pihak diperintahkan untuk untuk melaporkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tabanan, sehingga dapat diterbitkan kutipan Akta Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (1) jo. Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.