Keadilan Restoratif Dalam Mengadili Perkara Pidana

  • Perdata
  • Jum'at, 18 Juli 2025
  • Admin
  • 35 views
  • 0 likes
Bagikan :

Howard Zahr menyatakan bahwa keadilan restoratif adalah proses untuk melibatkan dengan menggunakan segala kemungkinan, seluruh pihak terkait dan pelanggaran tertentu dan untuk mengidentifikasi serta menjelaskan ancaman, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan serta menempatkan hal tersebut sedapat mungkin sesuai dengan tempatnya. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif Pasal 1 Angka 1, Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan

Hakim dalam mengadili perkara dengan Keadilan Restoratif melaksanakannya berdasarkan asas-asas:

  1. pemulihan keadaan;
  2. penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan Korban;
  3. tanggung jawab Terdakwa;
  4. pidana sebagai upaya terakhir;
  5. konsensualitas; dan
  6. transparansi dan akuntabilitas.

Adapun tujuan dari mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif bukanlah bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana, tetapi memiliki tujuan untuk:

  1. memulihkan Korban tindak pidana;
  2. memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau masyarakat;
  3. menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa; dan
  4. menghindarkan setiap orang, khususnya Anak, dari perampasan kemerdekaan.

Penerapan pedoman untuk mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif diterapkan oleh Hakim apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut:

  1. tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
  2.  tindak pidana merupakan delik aduan;
  3. tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
  4. tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
  5. tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.

Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal:

  1. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian;
  2. terdapat Relasi Kuasa; atau
  3. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam hal tindak pidana tersebut menimbulkan korban, pada hari sidang pertama, setelah kuasa Penuntut Umum atau Penuntut Umum membacakan berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan dan Terdakwa menyatakan mengerti berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau isi dakwaan Penuntut Umum, Hakim memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk membenarkan atau tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pernyataan Terdakwa yang membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan disertai juga dengan tidak diajukannya nota keberatan oleh Terdakwa maka proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Dalam hal Terdakwa tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan, membenarkan hanya sebagian, dan/atau mengajukan keberatan atas dakwaan yang diajukan, pemeriksaan perkara dilanjutkan sesuai dengan hukum acara.

Selanjutnya Hakim menanyakan kepada Penuntut Umum perihal kehadiran Korban dalam persidangan. Dalam hal Korban hadir dalam persidangan, Hakim memulai pemeriksaan keterangan Korban dengan terlebih dahulu menanyakan kepada Korban perihal:

  1. kronologis tindak pidana yang dialami oleh Korban;
  2. kerugian yang timbul dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana;
  3. ada atau tidak perdamaian antara Terdakwa dan Korban sebelum persidangan; dan
  4. pelaksanaan kesepakatan atau perjanjian yang timbul dari perdamaian tersebut, dalam hal telah ada perdamaian.

Apabila Korban tidak hadir di persidangan, Hakim menunda persidangan paling lama 7 (tujuh) Hari dan memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan Korban serta alat bukti lain pada persidangan berikutnya. Dalam hal Korban meninggal dunia, kepentingan Korban dalam persidangan diwakili oleh ahli waris Korban.

Dalam hal Korban menerangkan dalam persidangan telah terjadi perdamaian sebelum persidangan, Hakim berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban. Sedangkan dalam hal telah terjadi perdamaian antara Terdakwa dan Korban atau ahli warisnya sebelum persidangan dan seluruh kesepakatan sudah dilaksanakan, Hakim dapat menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan dalam putusan dan melanjutkan proses pemeriksaan.

Dalam hal Korban menerangkan bahwa telah terjadi perdamaian antara Terdakwa dan Korban sebelum persidangan namun sebagian atau seluruh kesepakatan belum dilaksanakan oleh Terdakwa, Hakim menanyakan kepada Terdakwa alasan tidak dilaksanakannya kesepakatan tersebut. Dalam hal Terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan, Hakim menanyakan kesediaan Korban untuk membuat kesepakatan baru yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa. Serta dalam hal Korban bersedia membuat kesepakatan baru dengan Terdakwa, Hakim mengupayakan tercapainya kesepakatan baru yang disanggupi oleh Terdakwa dan Korban.

Terkait dengan Terdakwa atau Korban merupakan penyandang disabilitas fisik, intelektual, mental, dan sensorik yang berdasarkan keterangan ahli dapat bertanggung jawab secara hukum, dapat didampingi oleh keluarga atau Pendamping Disabilitas atas permintaan Terdakwa atau Korban atau keluarganya.

Lihat Artikel Lainnya

Kategori