Pengajuan Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana
- Pidana
- Jum'at, 25 Juli 2025
- Admin
- 112 views
- 0 likes

Perkembangan sistem peradilan pidana tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban. Setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas perlindungan, juga berhak atas Restitusi dan Kompensasi.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga, sementara kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan Pasal 2 Perma No.1 Tahun 2022, tindak pidana yang dapat dimohonkan Restitusi adalah : Tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, Terorisme, Perdagangan orang, Diskriminasi ras dan etnis, Tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 4 PERMA 1 Tahun 2022, Korban berhak memperoleh Restitusi berupa:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan;
- ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
- penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikolagis; dan/atau
- kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum
Menurut Pasal 9 Perma No.1 Tahun 2022, permohonan Restitusi tidak menghapus hak korban, keluarga, ahli waris dan wali untuk mengajukan gugatan perdata, dalam hal :
- Permohonan Restitusi ditolak karena terdakwa diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum; dan
- Permohonan Restitusi dikabulkan dan terdakwa dihukum, akan tetapi terdapat kerugian yang diderita Korban yang belum dimohonkan Restitusi kepada Pengadilan atau sudah dimohonkan namun tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan.
Ada dua cara korban tindak pidana dapat memperoleh Restitusi yakni : Pengajuan dan pemeriksaan permohonan Restitusi sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, serta pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Permohonan restitusi dapat diajukan oleh korban, ahli waris korban, atau kuasanya kepada pengadilan melalui penuntut umum atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan Restitusi dapat diajukan Pemohon kepada Pengadilan secara langsung atau melalui LPSK. Permohonan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak Pemohon mengetahui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Perma 1 Tahun 2022, adapun persyaratan yang harus dilengkapi Pemohon yang mengajukan Permohonan Restitusi, antara lain:
- fotokopi identitas Pemohon dan/ atau Korban;
- bukti kerugian materiil yang diderita oleh Pemohon dan/ atau Korban dibuat atau disahkan oleh pejabat berwenang, atau berdasarkan alat bukti lain yang sah;
- bukti biaya Korban selama perawatan dan/ atau pengobatan disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan atau berdasarkan alat bukti lain yang sah;
- uraian kerugian immateriil yang diderita oleh Pemohon dan/ atau Korban;
- fotokopi surat kematian, dalam hal Korban meninggal dunia;
- surat keterangan hubungan Keluarga, ahli waris, atau wali jika permohonan diajukan oleh Keluarga, ahli waris atau wali;
- surat kuasa khusus, jika permohonan Restitusi diajukan melalui kuasa; dan
- salinan atau petikan putusan Pengadilan, jika perkaranya telah diputus dan berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal Korban adalah anak, permohonan diajukan oleh orang tua, Keluarga, wali, ahli waris atau kuasanya, atau LPSK, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Permohonan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dan diajukan kepada Ketua Pengadilan baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik atau penuntut umum.
Dalam proses Pemeriksaan di Persidangan, berdasarkan pasal 14 Perma No.1 Tahun 2022 ;
- Hakim yang ditunjuk menetapkan Hari sidang pertama paling lama 2 (dua) Hari sejak menerima penetapan penunjukan, disertai dengan perintah kepada Pemohon dan Termohon untuk mempersiapkan alat bukti.
- Hakim mengirimkan salinan permohonan kepada Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri/Oditurat Militer setempat disertai panggilan untuk menghadiri sidang.
- Dalam hal ganti rugi akan dibayarkan oleh Pihak Ketiga, Pihak Ketiga tersebut wajib dihadirkan dalam sidang untuk dimintai persetujuannya.
- Panggilan sidang harus sudah diterima oleh Pemohon, Termohon, Jaksa Agung/Kejaksaan Tinggi/Negeri/Oditur Militer dan/ atau Pihak Ketiga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum persidangan.
- Dalam hal Pemohon atau Termohon tidak hadir pada Hari sidang pertama dan tidak mengirimkan kuasanya yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, pemanggilan dilakukan 1 (satu) kali lagi.
- Dalam hal Pemohon tetap tidak hadir pada Hari sidang kedua, permohonan dinyatakan gugur.
- Dalam hal Termohon tetap tidak hadir pada Hari sidang kedua, pemeriksaan dilanjutkan tanpa hadirnya Termohon.
- Pemeriksaan persidangan meliputi :
- pembacaan permohonan Pemohon;
- pembacaan jawaban Termohon;
- pemeriksaan alat bukti; dan
- pembacaan penetapan.
- Pengadilan wajib memutus permohonan dalam bentuk penetapan paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak sidang pertama
- Ketentuan mengenai putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (12) dan ayat (13) berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan yang diajukan setelah adanya putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap
- Upaya hukum terhadap penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) hanya dapat diajukan banding.
- Penetapan Pengadilan banding bersifat final dan mengikat.
Berbeda dengan permohonan restitusi, Pengajuan permohonan Kompensasi tidak seperti Restitusi yang dapat diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, Permohonan Kompensasi hanya diajukan sebelum ada putusan pengadilan. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan untuk :
-
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan Pasal 18 Perma 1 Tahun 2022, adapun persyaratan pengajuan permohonan kompensasi antara lain:
- Surat keterangan dari penyidik yang menunjukkan pemohon sebagai Karban tindak pidana terorisme, dalam hal permohonan diajukan untuk tindak pidana terorisme;
- Surat keterangan dari Komnas HAM yang menunjukkan Pemohon sebagai Karban atau Keluarga, orang tua, wali atau ahli waris Karban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dalam hal permohonan diajukan untuk tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
- Surat keterangan dari Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah Karban berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat terjadinya tindak pidana terorisme, dalam hal permohonan diajukan untuk Warga Negara Indonesia Karban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
Dalam hal jumlah Pemohon lebih dari 1 (satu) orang, dapat dilakukan penggabungan permohonan. Permohonan Kompensasi hanya dapat diajukan pada pengadilan tingkat pertama. Permohonan kompensasi terhadap tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal, harus diajukan paling singkat / minimal 1 tahun sejak peristiwa terjadi, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Perma No.1 Tahun 2022;
Proses Pemeriksaan Persidangan permohonan kompensasi meliputi:
- pembacaan permohonan Kompensasi oleh LPSK;
- pemeriksaan alat bukti; dan
- pembacaan putusan.
Dalam putusan tersebut wajib memuat amar :
- menolak atau menerima permohonan Kompensasi;
- menenma atau menolak, baik sebagian atau seluruhnya permohonan Kompensasi;
- besaran Kompensasi yang harus dibayarkan LPSK.
Kategori
- Permohonan 2
- Perdata 11
- Pidana 2