PEMBAGIAN HARTA BERSAMA SETELAH PERCERAIAN
Dasar Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan
Harta bersama merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan suami istri saat perkawinan, khususnya apabila mereka bercerai. Harta bersama merupakan istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), Pasal 35 ayat (1) yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ketentuan harta bersama juga diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Konsep Harta Bersama dan Harta Bawaan
Konsep mengenai harta bersama yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
- Pendapatan selama perkawinan, mencakup gaji, penghasilan, dan pendapatan lainnya yang diperoleh suami atau istri selama masa perkawinan. Pendapatan ini akan dibagi antara suami dan istri apabila perkawinan berakhir, baik karena perceraian atau karena salah satu pihak meninggal dunia.
- Harta yang diperoleh dari pendapatan bersama, jika salah satu pihak menggunakan pendapatan bersama untuk membeli atau mengakuisisi aset seperti properti, investasi, atau barang yang dibeli selama perkawinan, maka aset tersebut dianggap sebagai harta bersama.
- Harta yang diperoleh bersama, yakni harta yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan. Seperti properti yang dibeli atas nama keduanya atau investasi yang dimiliki bersama.
UU Perkawinan juga mengenal konsep mengenai harta bawaan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) yakni harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, dan Pasal 36 ayat (2) yakni mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dengan demikian, harta bawaan dalam perkawinan adalah harta terpisah, artinya segala harta yang dibawa ke dalam perkawinan tetap dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang membawa.
Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian
Terkait pembagian harta bersama setelah perceraian, dalam UU Perkawinan Penjelasan Pasal 35, apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Kemudian Pasal 37 menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan Pasal 37 menyatakan yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Jika terjadi perceraian, harta bersama harus dibagi rata antara suami dan istri sebagaimana Putusan MA No. 1448K/Sip/1974 yang menerangkan ketentuan bahwa:
Sejak berlakunya UU Perkawinan tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.
Kedudukan perempuan Hindu dalam pewarisan hukum Adat Bali ditentukan oleh statusnya sebagai sentana rajeg atau purusa. Dengan diperolehnya status sebagai sentana rajeg, maka perempuan Hindu dalam pewarisan adat Bali dapat memperoleh harta waris dan melanjutkan kewajiban dari pewaris. Namun apabila perempuan hindu Bali tersebut bukan merupakan sentana rajeg, maka hanya berhak menikmati harta guna orang tuanya sebagai penunjang kelangsungan hidup hingga anak perempuan tersebut dipinang oleh laki-laki Hindu Bali lainnya